CERPEN '05
Antara Kiamat dan Kematian
“Welcome
to the Jungle”. Begitu dendang lantang Guns ‘N Roses dalam sebuah lagu
klasiknya.
“Selamat datang di hutan rimba.”
Begitu artinya. Yach, hari ini nyata emang
ganas. Kayak dihutan rimba. Siapa cengeng, dia bakal jadi bulan-bulanan. Siapa tangguh
bagai Tarzan, dia akan berjaya. Auooooo…… he..he..he..
Tepuk tangan bergema,seakan-akan
meruntuhkan sebuah gedung aula yang megah nan indah itu. Si ratu ceramah, benar-benar
telah menyindir para peserta dengan penampilannya yang prima dan menawan itu.
Kini setelah gema itu reda, seorang
lelaki dengan dengan langkah pasti naik ke podium dengan membawa selembar
kertas ditangannya. Wajahnya yang lucu melemparkan banyak senyum plus
melambaikan tangannya mirip kayak Putra Solo yang akan fasion show di atas
catwalk. Sebenarnya merupakan pemandangan yang segar dan enak kayak ice-cream
“MAGNUM” saja. Hmmmm….nyammy….
“Hadirin
sekalian,” ucap lelaki yang berperan sebagai host alias pemandu acara itu.
“Demikian tadi penampilan spektakuler, bombastis, dan menakjubkan dari peserta
nomor undi 1. Selanjutnya yang tak kalah bedanya, kami panggil peserta nomor
undi 2. “Kepada peserta nomor undi 2, kami persilakan maju ke panggung.
Meskipun bukan aku yang di panggil, namun
sekujur tubuhku mendadak panas dingin. Keringat dingin mengucur deras, mirip
“tik-tik bunyi hujan di atas genting, airnya turun tidak terkira cobalah tengok
dahan dan ranting, pohon dan kebun basah semua” ….(loh kuk malah nyanyi
nich..). Wach, jadi basah gini dech baju muslimku yang bercorak ungu ala janda.
Ya Rabb!! Alamat kiamat sudah dekat.
Gemetar aku melirik kertas karton yang menempel di dadaku. Nomor 3,
artinyagiliran aku maju tinggal sesaat lagi. Giliran aku nunggu kematianku yang
tinggal sepenggal waktu lagi. Tuhan, tolonglah diriku…!
“Tenang Dian…tenang,” bisik mas
Lilik, guru TPAku sekaligus pelatihku untuk ikut lomba ini, yang sudah sebulan
berjibaku mengajariku berpidato. “Berjibaku”, menyerang dengan menabrakkan diri
kepada musuh, begitulah artinya. Karena menurut mas Lilik aku adalah sosok
murid yang paling “menyebalkan” di muka bumi ini. Cerewet, banyak protes,
malesan, ngambekan! Payah kan?? Hehehe
“Kamu sebenarnya punya potensi lebih
Dian. Suara kamu oke, ngalahin Aa Gym pas masih berdarah muda, darahnya para remaja….telolet”
(hussss malah nyanyi kan). Intonasinya mantap, suara okelah kalo di adu (kaya
adu domba saja). “Kalau kamu sungguh-sungguh, kamu pasti bisa Yan. Ayolah Dian,
semangat! Anggap saja manusia yang ada di gedung ini adalah semut-semut kecil
yang berbaris di dinding menatap ku curiga seakan penuh tanya sedang apa di
sini!??” “Menanti giliran jawabku.” Hehehehe
Ih malah nyanyi lagunya Obie Mesakh
to,,,,,huh…sebel!
“Hah, semut-semut kecil?” tapi
mereka semut yang bisa menggigitku hingga mati. Lihatlah….mata-mata mereka
melotot tajam,dengan senyuman yang tak menggairahkan bahkan malah meremehkan.
Mereka bukan semut-semut kecil, melainkan macan-macan lapar yang siap menerkam
aku dengan cemoohan yang penuh dengan kadar racun yang sangan tinggi. Bahkan seperti
BOM nuklir yang siap meledak. Apalagi mereka berubah jadi kaya Taufik Hidayat,
pasti sudah di sapu dengan smashan mereka. Eh, tapi ngomong-omong si Taufik itu
emang bener-bener jago smash atau cuma kebetulan aja ya?? Lhoh kuk malah jadi
mikirin si Taufik Hidayat sih???????
“Kamu harus tenang ya
Dian…..,”lanjut mas Lilik lagi. “Sekali lagi, tenang!!! T-E-N-A-N-G!! tarik
nafas panjang sebelum maju, okey yan!”
Aku menggigit bibir, lalu mengangguk
ragu ketika melihat mas Lilik menetapku tajam. Aku tau isyarat itu. Artinya aku
harus berani dan nggak boleh malu-maluin TPAku dengan minderku. Aku benar-benar
ingin meninggalkan gedung ini dengan menghilang bagai jin yang tak tau
arah…..mau dibawa aku ini.
Sesaat, aku mencoba berkonsentrasi
memfokuskan pengelihatanku pada penampilan peserta nomor undi 2. Seorang cewek
yang mengenakan baju biru, muslimah sekali cewek itu. Sepertinya aku kenal
dengan dia. Namanya Wulan, kalau nggak salah dia sudah beberapa kali menjuarai
perlombaan pidato antar TPA se-kecamatan bahkan sampai tingkat provinsi. Mestinya,
yang sudah kampiun macam dia, tak lagi diperbolehkan ikut lomba, kan bikin down
saja para peserta yang baru alias pendatang baru macam aku ini. Huh, rasanya
tak adil sekali perlombaan ini.
Tetapi penampilannya sangat memukau!
Cewek itu, dengan tatapan garang menyapu para penonton. Sejurus kemudian,
suaranya mulai bergema memenuhi seluruh sudut ruang. Wah, mantap sekali. Singa
saja pasti berlarian kabur kalau ndengerin pidatonya. Hehehe…
Canggih!
Hebat !
Bikin wajahku surut kebelakang.
Perasaan sejak peserta nomor undi 1 dan 2 ini, semuanya mempertontonkan
kehebatan yang memukau. Semua bikin orang yang menonton terkesima dan berujung
pada tepuk tangan yang riuh rendah, penuh gegap gempita.
Bagaimana dengan aku??? Ah… nggak
bisa ngebayangin deh! Paling-paling aku cuman mendapatkan cemoohan atas
penampilanku yang mirip spongebob lagi manyun, atau paling aman, senyuman kecut
seraya bergumam, “Ih jelek gitu nekad ikutan lomba!”
Huft… mana tahan!!
Belum lagi di akhir lomba. Aku pasti
hanya menduduki posisi peringkat 1 dari belakang. Malu-maluin aja! Mending aku
tidak ikut lomba pidato. Mending di rumah saja, nonton film kartun kesukaanku
atau ndengerin senandungnya Yusuf Islam yang merdu.
Rasanya, aku memang telah tersesat
masuk ruangan ini! Ini bukan tempat gue!! Jerit batin ku. Ini hutan rimba liar.
Ini neraka untukku.
“Dian…siap..siap!” bisik mas Lilik
Deg!!! Seperti ada yang mengalir ekstraderas
pada aliran darahku. Benar, peserta nomor undi 2 telah selesai. Seperti
dugaanku, tepuk tangan penonton bergemuruh. Mereka tampak antusius dengan penampilan si peserta yang
memukau itu. Kini….si lelaki pembawa acara naik ke panggung dengan senyum
simpatiknya. “Demikian tadi penampilan peserta nomor undi 2..!!!” selanjutnya “Kami
persilakan peserta nomor undi 3 untuk tampil di depan.”
Aku merasa bajuku basah kuyup abis
kehujanan. Padahal ruangan dalam lomba itu sudah ada ACnya. Sebelumnya, aku
merasa kedinginan sampai-sampai aku harus meminjam jaketnya mas Lilik. Ya, meskipun
jaketnya bau keringat. Biasa, kebiasaan cowok males cuci baju, “dasar cowok
kemproh.” Hehehe…
Si lelaki itu pun memanggil lagi
“Ayo, nomor undi 3 segera untuk tampil di depan!” aku benar-benar tak sanggup
untuk tampil di depan. Rasanya kursi yang aku duduki sudah menempel erat dengan
tubuhku. Mas Lilik memanggilku lagi “Dian, cepat maju!.” Aku hanya bisa
membalas tatapannya dengan wajah melas. Akhirnya, aku mulai melangkahkan kakiku
untuk maju ke depan. Ku lihat wajah mas Lilik yang terus memberikan semangat
untukku “Ayo..Yan..ayo..ayo..Yan!” Padahal sebelumnya beratku hanya 35 kg,
namun sekarang serasa sudah menjadi berkwintal-kwintal. Berjalan ke depan pun
yang jaraknya hanya 2 meter serasa menjadi berkilo-kilo meter. Benar-benar
telah menguras tenaga ku untuk sampai di depan. Berjalan seperti semut dan
bergerak seperti robot itu yang aku lakukan. Tidak salah lagi kalau aku di panggil
dengan sebutan “lemodt”. Huhu..huhuhu…
Akhirnya dengan susah payah, tiba
juga aku di atas panggung. Gemetar aku memegang ganggang micropon. Rasanya
seluruh tubuhku kini menjadi panas dingin mirip sekali seperti orang yang sakit
demam stadium akhir. Ku lihat semua orang menatapku tajam dan menunggu apa yang
akan aku bicarakan di atas panggung.
Tak lama mulutku pun mulai berbicara
dengan sendirinya “Asssalamu’alaikum warah matullahi wabarakatuh” namun hanya
beberapa orang saja yang menjawab salamku. Lalu ku ulang kembali salamku,
“Alhamdulillah, seluruh isi ruangan pun menjawabnya.” “duch, kuk malah nambah
deg-degan saja untuk melanjutkan pembicaraanku.Haduch malah tambah gembrobyos
gini toh,nggak sabar pengan cepat-cepat turun dari panggung ini.”
Setelah
7 menit aku berdiri di atas panggung, akhirnya selessai juga. Lega rasanya,
akhirnya bisa selesai. Buru-buru aku berlari meninggalkan panggung rimba itu.
Namun…
Gubrak!!!
Kakiku terkait kabel micropon!!
Tubuhku terjatuh dan di tertawakan
seisi ruangan. Malah jadi seperti pemandangan yang tidak beraturan. Sungguh
sangat membuat malu diriku sendiri. Namun alhamdulillah si lelaki mirip Putra
Solo itu membantuku untuk berdiri. Tak lupa terucap “terimakasih” dari mulutku.
Segera aku keluar dari ruangan itu sambil menuntup wajahku dengan jilbabku.
“Sumpah, malu nggak ketulungan”
Komentar
Posting Komentar